Selasa, 07 Februari 2012

Tiga


Malam itu hujan menimpa kota Bandung. Hujan memang karuni Tuhan yang harus selalu disyukuri, aku sangat menyenanginya karna ini membuatku damai.
Devan datang kerumahku dan mengajakku keluar ditengah rintik hujan malam itu.
Aku memutuskan untuk mengikutinya. 

Kami sampai di tempat yang dituju Devan tersebut, sebuah Kafe yang asri. Banyak lampion disekelilingnya dan tempatnya sangat  asri.

“ayo Sya duduk, aku mau ke toilet sebentar” katanya halus dan aku merasa ada yang aneh dari Devan yang tidak sesopan ini dengan sahabatnya.
Devan datang dengan wajah tanpa dosa dan langsung duduk dihadapanku.

“abis ngapain sih? Dandan? Biasa aja kali kalo ketemu orang cantik. Hahaa” candaku mencairkan suasana sunyi ini.

“iya aku dandan demi kamu Sya. Just for night, it’s our night now.” Matanya menatapku penuh harap. Sedangkan aku hanya terpaku dan bingung untuk ini.

“aku kenal kamu Van, lama dan kamu ga biasanya kaya gini. Ada apa sih sebenernya?” pintaku agar Devan mengatakan sebenarnya.

“mungkin ini melanggar kesepakatan kita Sya. Dan aku ga sepandai kamu yang bisa menutupinya dengan candaan atau hal apapun itu yang membuatmu untuk tidak merasakannya dan memikirkannya.” Helaan nafas panjang itu membuatku curiga. Dia mengahela nafas sepeti ada beban berat dipundaknya.

“aku tidak pernah mengharapkan kita bisa menjadi sedekat ini. Aku juga tidak ingin kamu masuk terlalu jauh dalam hidupku pikiranku dan hatiku. Aku tau kamu sudah mengetahuinya lebih dulu ketika aku memiliki pandangan berbeda denganmu. Tapi aku sadar kesepakatan kita diawal adalah sahabat, bukan lebih.” Suaraku tercekat, rasanya hanya itu yang bisa aku katakan padanya sekarang.

“ijinkan aku untuk mengganti perihmu dengan cinta yang aku miliki ini. Aku tau kamu menolak karna kamu tidak ingin mengulang kesalahanmu bukan? Berpacaran dengan sahabat yang akhirnya membuatmu kehilangannya sebagai sahabat dan kekasih. Bahkan sekarang seperti tak saling mengenal? Aku bukan tipikal seperti itu Rasya.” 
Dia memohon untuk bisa masuk dalam hati yang kosong ini dan semua berubah menjadi dingin ketika aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu.

Berlari dalam hujan seakan aku terkejar oleh maut. Mungkin hujan ini membantuku karna Devan tidak pernah tau bahwa saat itu juga aku menangis didepannya. Dan aku salah, Devan melihat auraku yang sama pekatnya dengn malam itu.

“berjanjilah padaku bahwa ini tangismu yang terakhir Rasya.” Dia merangkulku dan memelukku hangat meski aku telah berubah menjadi dingin.

Sejak saat itu ia selalu berkata hati dan maaf.

Yang selalu membuatku ingin menangis. Dan perilaku anehnya sekarang ini, yang selalu membuatku menunggunya, mencemaskannya dan selalu mengagetkan itu adalah caranya agar aku mengerti bukan tidak ingin mengerti.
Dia memang gigih dan aku bersyukur Tuhan mempertemukanku dengan dia.

****
Aku telah berada dirumah setelah kejadian diparkiran tadi, sekali lagi Devan yang mengantar dengan penuh diam dan hanya menggunakan senyuman. Kali ini aku yang dipaksa untuk bicara dan mencari tahu.

Pagi ini tak terdengar deru motor dan suara klakson yang selalu membuatku malas. Tapi ini berbeda, Devan tidak menjemputku. Seakan tak ada semangat untuk mandi sarapn dan berangkat kesekolah. Dia berubah.
Aku sampai disekolah mungkin terlalu pagi karna siswa siswi disini masih sedikit yang berdatangan, mungkin karna aku menggunakan kecepatanku sendiri bukan kecepatan Devan biasanya.
Dia lagi dan lagi. Seakan aku harus benar benar peduli dan mengerti kali ini. Tapi aku tak selunak itu.

Aku sengaja mengelilingi sekolahan dan mencari satu sosok yang hilang ini. Dimana mana ia tidak ada, dan hanya kutemukan surat izin dikelasnya dan menemukan buku kecil miliknya. Entah sejak kapan ia gemar menulis.

Dihalaman pertama ada sederet kata kias yang aku tak mengerti. Dan baru kusadari ini puisi.
Indah hingga tak terasa aku sudah membaca setengah buku itu.
Ketika tepat dibagian tengah halaman buku itu, aku menemukan banyak namuki disitu disebut.

“berusaha untuk sama dinginnya sepertimu itu sulit, karena aku adalah penghangatmu. Jika kita sama – sama dingin aku yakin kamu akan membeku Rasya”

“melawan perasaan yang bisa menenangkanku seperti aku harus melawan arus. Jika aku terus melawannya lama – lama aku akan hanyut juga. Dan aku sudah terhanyut dalam hatimu Rasya”

“aku ingin menjadi angin saja untukmu dan kamu menjadi rumputyang selalu membutuhkanku untuk membuatmu melambai dan menari. Meski angin tidak bisa dilihat tapi ia bisa jadi terlihat jika ada rumput yang melambai jika diterpa olehnya. Jadi, biarkan aku menjadi angin untukmu Rasya”

“aku mengenalmu seperti aku menaiki komedi putar, memilih patung,menaikinya dan berpegangan pada tiang tiangnya. Dan kini aku telah memilih patung favoritku yang aku enggan menghentikan putarannya. Tetapi patung itu menghilang dan berubah menjadi dingin yang sebenarnya menusukku tajam. Aku ingin memilih patung favoritku lagi dan memutarnya tanpa henti. Come back Rasya”

  
Tak terasa air mataku menetes membasahi halaman itu dan aku segera mengusapnya.
Aku masih tertunduk menerawang isi kata – kata ini. Dan tak kusangka Devan dihadapanku sekarang.

“aku tak pernah tahu bahwa orang sedingin kamu bisa leleh hanya karna tulisan ini. Dan ternyata kamu sangat lancang.” Dia hanya menyunggingkan senyum dan langsung merebut buku itu.

“tepati janjimu Rasya” katanya lirih dan meninggalkanku.

‘Ini bukan Devan!’ jeritku dalam hati yang mungkin sekarang mulai leleh yang sebelumnya beku dan dingin.
Aku masih berkaca – kaca namun semua itu kutahan karna aku ingin membuktikan pada Devan bahwa aku tak selunak itu!
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Bird Gadget