Selasa, 07 Februari 2012

Dua



AKU terbangun dalam tidur pulasku dan segera melihat jam. Kantuk masih menggelayut hingga rasanya ingin kembali kedalam dunia fantasi ku lagi. Tapi semua itu kuurungkan ketika terdengar suara bel motor. 

“Rasya, temanmu sudah datang menjemput dan kamu masih ditempat tidur dan belum mandi?! Entah mengapa lelaki itu gigih ingin mendapatkan wanita sepertimu.” Kata Mamaku sang pelitaku dan sekaligus penceramah top untukku. “Ayo banguuun, segera mandi!” dengan menarikku sekuat tenaga yang Beliau punya dan sukses membuatku tergugah dan segera meluncur kedalam kamar mandi.

Aku sudah siap untuk berangkat namun tidak dengan jiwaku. Ia masih berkeliaran dimana mana dan aku harus mengumpulkannya agar menjadi Aku yang utuh.

“Masih mengantuk tuan puteri?” ejeknya dengan wajah yang ia buat secantik mungkin.

“Ini hari terakhir kamu jemput aku ya Van” ucapku dingin dan langsung meninggalkannya.

“EEHH?” beusaha mengejarku dan memberi senyum untuk berpamitan pada Mamaku. “selalu begitu, ini masih pagi. Jangan terlalu dingin menyapaku Sya” kata Devan

“aku bukan dingin hanya saja aku menjaga bicaraku” gerutuku

“pakai ini dan jangan diam saat kutanya. Oke?” dengan memberikan ku helm dan senyumnya itu dia berhasil membuat ku mencuri pandangan padanya, yang selalu kuhindari itu.
Sepanjang jalan dia melajukannya pelan, padahal aku tau dia tidak suka menyetir pelan. Namun jika denganku, itu sebuah kewajiban menjaga kecepatannya dibatas normal.

“kamu menjemputku sangat pagi sekali. Apa kamu sakit?” tanyaku berhadapan dengan punggungnya itu.

“aku memang sedang sakit.” Katanya dengan nada datar.

“lalu, mengapa kamu masih mau menjemputku? Kenapa ga izin istirahat aja?” aku menyelidik meski aku dibalik punggungnya ini.

“aku mengkhawatirkanmu Sya.” Kini suaranya nyaris tak terdengar sampai – sampai aku harus maja untuk mendengarnya.

“aku baik – baik saja, mengapa kamu khawatirkan?” tanyaku selidik.

Devan meraih tanganku dan menaruhnya didadanya 
“ini yang mengkhawatirkanmu Sya.” Kata Devan. “maaf kan aku” suaranya tercekat dan dia masih memegang tanganku dan melepasnya ketika aku mulai diam.

“aku tak mengerti Van, dan akan selalu tak ingin mengerti.” Gumamku di belakang punggungnya.

“nantinya kamu akan mau mengerti kok” dia tersenyum, terlihat di spion motornya.
Kami sampai disekolah yang sudah lumayan ramai. Kami turun tanpa sepatah kata. Dan hanya Devan yang tersenyum. Sedangkan aku masih tertegun mendengar Devan bersikap aneh belakangan ini.

“nanti pulang sekolah aku tunggu ditempat parkir, aku yang menjemputmu jadi aku yang haru mengantarmu pulang meski kamu tidak mau” tegasnya meski senyum masih ditorehkannya padaku.
Aku hanya menjawab dangan anggukan dan melihatnya berlalu pergi.
‘Aku ingin mengerti maksudmu, namun aku tak ingin membiarkan diriku mengerti dan membuatmu terluka’ batinku.
**
Seperti janji, aku menunggunya diparkiran sepedamotor. Kali ini aku sungguh khawatir karena dia tak kunjung datang. Tak biasanya dia seperti ini. Aku duduk menunggu lama, tak tahan akan kantuk ini aku pun menyandarkan kepalaku didinding dan mulai terlelap. Aku melihat sayup sayup dan ternyata langit sudah memerah dan aku menyadari masih ditempat parkir sepeda! Segera aku bangun dan bangkit mencari cari. Ada yang ganjil dan tadi aku merasa tidur dibahu seseorang  dan ketika ku tengok. Itu Devan. 

“kamu benar benar membuatku takut!” aku mengerang karna aku takut dan sangat terkejut. 

“aku tak berani mengganggumu tadi, jadi kupinjamkan pundakku untukmu tadi. Jadi kamu harus berbalas budi padaku!” meringis dan menantangku.

“aku menunggumu sudah berapa jam? Bisa kau hitung kan? Jadi seharusnya aku atau kamu yang membalas budi karna menetapi janji?” tatapku dingin dan sayangnya aku tak bisa berlama lama melihatnya. Keteduhan matanya membuatku ingin mengerti.

“oke oke tuan puteri. Mari aku balas budimu yang mau menepati janji ini.” Candanya dengan mendekatkan wajahnya dihadapanku.

“aku mau pulang. Dan satu lagi, aku ingin bertanya” suaraku sedikit tercekat kali ini.

“bertanya apa?” sekarang dia benar – benar serius.

“apa yang membuat berbeda belakangan ini? Apa karna malam itu, malam dimana aku menangis dihadapanmu?” terlihat dingin namun sebenarnya aku ingin menangis saat itu juga.

“aku tidak merubah apapun dalam diriku. Dan tentunya hatiku.” Ia tersenyum namun aku masih ragu dia tulus atau tidak.

“aku tau kau bohong. Dan jangan bawa soal hatimu!” nadaku tinggi seakan aku ingin meledak saat itu juga.

“aku tidak berbohong Rasya, aku hanya melakukan hal yang membuat ingin mengerti. Dan aku akan selalu membawa soal hati.” Dia sengaja menekan kata terakhir itu didepanku dan sekali lagi ia tersenyum!

“antar aku pulang sekarang!” aku menepis badannya dan segera menuju motornya.
Aku tau dia melihatku menangis karna itu dia membiarkan ku untuk meledakkan emosi itu.

“kamu berjanji malam itu adalah tangisanmu yang terakhir. Dan sekarang kau melanggar.” Ia meringis dan seakan memberiku cambukan.

“aku tidak berjanji tapi aku hanya berucap. Bukankah banyak yang seperti itu? Dan kau sendiri pernah melakukannya.” Dingin dan tanpa perasaan sedikitpun.

“maaf” Kata Devan.

Aku mengerti bahwa aku ini memang terlalu dingin dan Devan terlalu hangat dan bisa membuatku mencair jika ia menyentuhku.
Sebelum malam itu aku adalah orang yang hangat dan menerima kedatangan Devan sebagai sahabat. Persahabatan kami terlalu lama dan kedekatan ini semakin tidak mengarah. Terkadang aku ingin memberinya sebuah harapan untuk mengisi hatiku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Bird Gadget