Selasa, 07 Februari 2012

Last Rain - Satu


Aku tak mengharapkannya datang menyusupi dunia ku terlalu dalam, menjagaku dekat denganku dan yang fatal lagi, mencintai ku. Bukan aku tak ingin namun aku tak ingin memberinya perih diakhir setelah dia menghisap manis diawal.
Derap jantungku mengikuti langkahku, seakan memburuku untuk segera berlari. Namun tak kututruti untuk itu meski ia selalu menuntut. 

“lama sekali kamu sya? Dari mana? Sedari tadi aku menunggumu.”  Ucapnya dingin. 

“maaf karna keterlambatanku, aku hanya ingin berjalan bukan berlari.” Balasku santai. 

“aku tidak perduli apa dipikiranmu itu, tapi kumohon kali ini ikut denganku.” Tatapnya tajam, seakan memaksa namun masih bersikap halus. 

“untuk apa aku ikut denganmu? Adakah untungnya untukku?” balasku dingin balik menatapnya. 

“baik jika kamu enggan ikut, aku akan memaksamu.” Seakan kehabisan kata kata, Ia menggenggam tanganku namun lebih tepatnya menyeretku paksa.

Setelah sampai di tempat yang dia inginkan, aku hanya mendengus dan berharap tidak ada kejadian tolol lagi.

“hey, bisakah kamu sedikit mengikuti aku untuk kali ini? Aku sungguh tulus.” Seakan penyesalan tergambar dalam matanya. 

“aku selalu mengikuti keinginanmu. Mengerti?” gerutuku. 

“baik, maka kali ini saja aku mohon kamu mau memberiku seulas senyum meski itu hanya sebuah topeng sekalipun.” Senyumnya terhadapku membuat aku hanya bisa diam menatap mata hitamnya itu dan sekedar mengangguk.
Tempat ini belum pernah kukunjungi dengan Dia. Ya Dia laki – laki yang sedari awal aku tak ingin mendekatinya namun Tuhan mempertemukan ku dengan dia dan dengan perasaan yang sama. Namun kita hanya Sahabat hingga sekarang. 

“Kita mau kemana sih Van, aku lelah mengikuti dibelakangmu dan tak tau tujuan!” aku mendengus karna Devan sangat aneh hari ini.

“Ssst,  apa kamu bisa kecilkan volume suaramu itu? Aku masih bisa mendengar jelas tanpa harus kau berteriak.” Dia hanya meringis melihatku memasang muka kusut.

“Oke, Maaf” dengusku dan tidak memandangnya lagi. 

“Marah? Padahal kita udah sampai lho?” goda dia dengan mengarahkan ku ke satu bukit bunga mawar berwarna warni.

“Wow! Beauty flowers.” Kagumku dan langsung tersenyum riah. Aku memetik satu tangkai mawar merah dan menghirup aroma bunga itu. Dan dihadapku kudapati Devan menyodorkan satu mawar kuning bersih 

forgive my mistake Sya, and i’m so sorry make you cry yesterday” mukanya teduh, seteduh ucapannya padaku yang membuatku ingin mengeluarkan butir air mata.

“Aku ga mau” kataku dingin membuatnya tegang dan kaku. 

“Aku harus apa sekarang Sya? Bilang Sya” tatapannya dalam melihatku dingin. 

“Belikan aku balon warna merah semerah mawar ini” tegasku “Sekarang” dengan menahanan tawa melihat mukanya yang sudah pucat dan bingung itu.

“Baiklah, tunggu disini sebentar.” Kata katanya tegas. “Jangan kemana mana!” dingin dan berlari menjauhiku.

Aku duduk digubuk dekat taman itu, melihat pemandangan Bandung dan tentunya menunggu Devan. Tak lama kemudian Devan datang, tidak membawa hasil dan terengah – engah.

“Mana? Kamu ga bisa memenuhinya bukan?” aku meringis karna aku berhasil menggoda Devan dengan tantangan ini. 

“Ayo ikut aku.” Seulas senyum yang sangat aku benci karna itu membuat wajahku merah.

Setelah sampai dengan mata tertutup, Devan membuka tangannya yang menutupi mataku sedari tadi dan aku melihat balon merah itu satu ikat dan itu membuatku tersenyum layaknya anak usia 5 tahun. 

“Banyak bangeeeet, Merah semua” aku terkikik dan tanpa kusadari Devan memandangku senang. 

“Jadi, aku dimaafkan bukan?” harap – harap cemas nampak pada wajahnya.

"Semudah itu kah aku bisa berkata ‘maaf’ setelah kamu membuat wanita secantik Selena Gomez ini menangis semalam?” ucapku angkuh dan dia hanya bisa tertawa terbahak – bahak dan mengusap poniku. 

“Baiklah Mbak Selena Gombez, maafkan saya ya?” dengan sedikit menahan tawa ia berkata dan tertawa lagi melihatku melototinya 

“Oke, kamu tak termaafkan. Sekian” dingin dan aku berlalu pergi dari Devan yang sempat membuat perubahan muka Devan menjadi panik.

“Eh Sya, aku bercanda. Maaf ya? Jangan gitu lagi. Aku sungguh tulus dengan ini semua.” Dengan memegang kedua tanganku dan menatapku lekat. Aku yang sedari tadi melihat balon yang dibawakannya merasa tak pantas. Karena aku bukan orang yang tepat untuk menerimanya.

“Iya, maafkan aku merepotkan mu dengan semua balon ini. Aku akan menggantinya. Berapa kamu beli ini?” ucapku dengan datar namun aku sebenarnya tercekik ketika ingin mengatakannya.

“Sudah aku katakan. Aku tulus Sya.” Terbesit wajah kecewanya yang sungguh aku tak ingin melihatnya. Cukup malam itu saja aku melihatnya kecewa karna aku.

“Oke oke, Maaf bila menyinggung. Bagaimana dengan balon sebanyak ini? Apa kita menerbangkannya saja?” tanyaku lirih.

“mungkin benar, kita harus melepaskannya. Tidak apa kan?” godanya untuk mencairkan suasana sore itu.

Kami melepaskan satu persatu. Memandang langit biru mendung sore itu dan beterbangan balon merah didalam megahnya keindahan angkasa. Seperti melepaskan beban beban kami. Ya kami. Karna aku bisa melihat Devan setenang ini dan melihat ulasan senyum yang bahagia. Sama halnya sepertiku yang seakan ikut terbang dengan semua itu.

Tak terasa tersisa satu balon ditangan ku dan aku enggan melepasnya. 

“mengapa tak kamu lepaskan saja? Apa kamu berencana untuk membawanya pulang?” meringis seakan mengolokku.

“Jangan sok tau deh” dengusku. “Aku ingin memberikannya padamu. Sebagai ucapan terimakasih dan permintaan maaf.” Aku menyodorkan balon itu kepadanya. Tepat dihadapannya namun dia hanya terpaku dan menatapku. Seakan ia menyelidiki arus pikiranku saat ini.

“Terimakasih” lirih, nyaris tak terdengar olehku dan aku tersontak kaget melihat perubahan wajah Devan.
Ada seulas senyum diwajahnya itu, namun itu labil. Aku bisa merasakan auranya memudar menjadi Abu – abu. Sama seperti langit sore ini yang mungkin segera menumpahkan airnya kemuka bumi. Itu memang berkah dari Tuhan. Tapi maaf, aku harap segalanya selalu cerah. Tanpa ada setetes air menimpaku.
Devan terdiam paku melihat aku menerawang jauh dalam wajahnya itu. Dan seperti biasa dengan keahliannya mengagetkanku aku pun berdecak dan sedikit gusar. Dia menarik tanganku dan membawa kami pulang.

Devan sudah mengantarku pulang dengan diam dan tak lupa membawa balon merah itu. Kami seakan badut dijalan karena membawa balon itu sepanjang perjalanan. Namun yang kurasakan aura Devan bukanlah malu namun tetap sama. Abu – abu. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti itu sore ini. Mungkin aku salah berucap padanya.
Aku memukuli kepalaku dan menggerutu ‘kenapa aku membuatnya membeli balon itu. Sekarang dia yang terkena imbasnya’ penyesalan itu membuatku tak nyaman dan membuatku meraih handphone dan segera memberi pesan singkat pada Devan. Sebelum itu kulakukan, aku mendapati terlebih dahulu Devaan yang mengawali 

“Thank’s for today my beloved friend dan kalau bisa lebih dari itu. Hahaha. Jangan masukkan hati aku hanya bercanda. Terimakasih juga atas balon merah mu Sleep tight.”

Aku tersenyum entah ini menyeringai sendiri dan jantungku berdegup seakan mengisyaratkan aku deg deg an. Aku membawanya kedalam kasur dan membaringkan badanku, menatap langit langit kamarku lalu terpejam indah.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Bird Gadget