Minggu, 12 Februari 2012

Lima



Sudah 3 hari aku ditempat ini. Banyak yang menjengukku, teman – teman kelasku, sahabat, kerabat dan teman – teman Mama. Ayah tidak menemani ku sekarang, padahal dulu setiap aku sakit Ayah slalu mebelikanku bunga dan coklat agar aku cepat pulih.

Kini berbeda, Ayah pergi meninggalkan aku dan Mama sendiri dikehidupan ini. Selamanya. Saat itu umurku 9tahun. Dan sudah 8 tahun lamanya aku tak berjumpa lagi dengan Ayah.
Tahun ini aku akan berusia 17 tahun. Sweet moment. Aku akan menjadikan kehidupanku menjadi bahagia dan sangat manis hanya dengan Mamaku seorang. Aku mencintai wanita tegar itu, yang kelak aku akan meniru ketegarannya itu.

Linangan air mataku turun melihat Mama yang tertidur pulas disamping ranjangku, aku membelai rambutnya yang sedikit memutih itu. Dengan lembut aku mengatakan ‘Rasya sayang Mama’. Wanita idolaku inilah yang mengajariku arti hidup tegar.

Aku memandang langit yang mulai memerah ini dan akan tergantikan petang. Aku masih ingat saat seperti ini aku terakhir bertemu dengan Devan.
Lagi – lagi Devan yang aku pikirkan, entah apa dia juga memikirkan keadaanku yang sekarang ini.

‘Devan, kini aku sudah mengerti. Ketidak mengertianku sudah terhapuskan oleh rasa kecewa ini. Melepas kesalahanku yang kini berbuah kekecewaan sama seperti melepas kamu yang sebenarnya ingin aku pertahankan. Kau dengar apa yang aku ucap ini kah? Kuharap ya’ linangan air mataku turun. Ini tiba – tiba dan tak kuminta, aku sangat ingin kamu ada Devan.

Mataku terpejam, melelapkan jiwaku kedalaman ketenangan dunia. Menari riang lepas dari kesakitanku. Tapi mimpi ini tak seindah itu, aku melihat Devan ada disana berdiri disebuah pohon menoleh kearahku menggandengku. Dia membawaku kedalam hutan jati, kami pernah kesana memang dan disana memang indah. Dia memakaikan sebuah mahkota dedaunan dan ranting yang ada. 

“sekarang kini kamu sudah mengerti kan Sya?” senyumnya membuatku memerah dan aku mengangguk. Namun, seketika semua hilang Devan menghilang dari hadapanku. 
Tinggal aku sendiri yang menangis memanggil namanya dan aku terbangun dengan air mata dipipiku.
Kulihat kearah jam dinding, jam 2 pagi. Aku menghela napas panjang dan mengambil air putih. Tapi dimeja itu ada amplop merah, mawar kuning dan coklat. Aku hanya menelan ludah dan segera mengambil amplop itu.

Dear Rasya,

Sudah aku katakan jangan ceroboh! Bisakah kamu berjanji untukku tidak ceroboh lagi?  Sungguh Rasya aku mengkhawatirkan kamu.

Devan.

‘khawatir? Huh, nonsense’ kataku lirih dengan mata berkaca – kaca aku memaki surat itu.
‘yang aku ingin kamu datang kesini Van! Menjenguk aku dan kita bersama – sama lagi. Apa ada wanita lain lagi?!’ aku menggeram, kali ini dengan suara keras. Lagi – lagi air mataku menyeruak keluar dengan deras, hingga aku merasakn mataku mulai memanas. Sepertinya air mataku telah habis.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Bird Gadget