Kamis, 09 Februari 2012

Empat



Mentari kali ini yang membangunkanku, bukan suara deru motornya. Devan.
Aku bangun dan segera  mandi, kali ini aku melihat handphoneku dan melihat apa ada pesan darinya.
Dan  tak ada satupun pesan darinya. Aku berjalan lemas, mungkin ini karena aku belum makan dari kemarin atau kekecewaan?

Aku sudah bersiap dan telah ada diatas motorku, aku berjalan ragu karna sebenarnya aku ingin ada dibalik punggung Devan pagi ini dan seterusnya. 
Kuputar kunci motorku dan langsung aku bergerak maju meninggalkan rumahku.

Mungkin aku terlalu pagi bangun, kabut masih ada menyelimuti jalanan kota Bandung. Sama halnya dengan aku yang terselimuti kabut ini tanpa ada penghangat untukku. 
Aku berpapasan dengan pengantar bunga yang membawa bunga mawar dikeranjangnya. Aku masih terpaku pada bunga itu, mawar kuning.

Sekejap aku melihat gelap gulita disekitarku, mendengar suara suara lirih.

Rasya, bangun! Kamu tidak apa – apa?  semua yang kupandang buram hitam, apa aku sudah di alam baka? Lantas, itu suara siapa?
Suara wanita, seperti sudah paruh bayah dan aku mengenal suara itu. Apa itu Mama?

“Mama?” Ucapku lirih. Aku terbangun dengan sedikit mata menyipit.

“Alhamdulillah, Rasya kamu tidak apa? Apa yang kamu rasakan sekarang? Kenapa bisa kamu terjatuh nak.” Suaranya serak dan air matanya berlinang.

“Rasya baik – baik saja Mama.” Dengan tenaga yang aku punya aku berusaha mengahapus air mata itu dari wajah indahnya itu.

Mama menceritakan mengapa aku bisa ada diranjang Rumah Sakit ini, ternyata aku terjatuh ketika melihat pengatar bunga itu, lebih tepatnya melihat bunga itu.
Motorku terkena batu yang lumayan besar dan aku kehilangan keseimbangan kendali motorku dan aku tarjatuh dari motorku. Kepalaku terbentur pembatas terotoar yang mengakibatkan balutan perban dikepalaku sekarang. Memang sedikit konyol tapi aku bersyukur masih bisa merasakan sakit meski sebenarnya rasa sakit sudah menghinggapiku sejak lama.

Aku berada diruangan putih dan dengan selang infus ditanganku, menghadap jendela besar dan dapat kulihat langit biru kota Bandung dari sini. Tapi mataku tertuju pada pot bunga diatas mejaku. Itu bunga mawar kuning yang tadi kulihat dibawa oleh pengantarl bunga itu.
Sedikit rasa senang kali ini menorehkan senyum diwajahku, dan sedikit kecewa banyak menghinggapi hati.
‘apa ini dari Devan? Apa ini bunga yang dibawa  pengantar bunga itu?’ batinku cemas. 
Mama masuk dengan membawa beberapa makanan dan minuman untukku.

“ini bunga dari siapa Ma?” kataku lirih.

“entah, Mama hanya dikirimi oleh pengantar bunga tadi pagi yang menyelamatkanmu itu. Tapi tanpa ada keterangan dari siapa” lalu mama mengambil amplop merah “tapi ada amplop ini Sya dibingkasan bunga itu”  

Itu amplop yang sama persis yang kudapat kemarin dari Devan.
Aku meraihnya dan langsung membaca apa tujuannya membuat teka – teki ini untukku.

Dear my honestly, Rasya.

“Apa kabar pagimu ini? Apa sudah bangun, atau malah sudah berangkat? Aku mengantar bunga ini untuk menebus kesalahanku yang membuatmu mengingkari janjimu dan membuat mu ingin mengerti.
Jangan ceroboh Rasya, karna aku tak bisa ada didekatmu sekarang atau mungkin seterusnya.”

Devan.

‘dan terimakasih telah membuat luka nyata dikepalaku!’ aku menggeram dalam hati.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Bird Gadget